HARI ARAFAH, MOMENTUM IDENTIFIKASI DIRI
Nasaruddin
Tumpukan buku terpajang tak teratur di rak-rak sederhana, menggunung sampai menutup dinding bangunan di sebuah lorong pasar. Di malam hari, ketika pemiliknya pulang, tumpukan buku tersebut dibiarkan tetap terbuka dan tanpa penjaga. Itulah gambar yang diabadikan oleh selembar foto hitam putih yang di-share seorang teman di grup fakultas saya.
Foto itu diantar oleh kata-kata yang unik, "Di toko-toko buku di Irak, buku-buku dibiarkan begitu saja pada malam hari. Karena orang Irak yakin, pembaca buku tidak akan mencuri dan pencuri tidak akan membaca."
Saya tertegun oleh foto itu. Lepas dari benar atau tidaknya, buat saya, foto tersebut adalah sebuah sindiran. Saya yakin, siapa pun kita, akan tertarik melihat, membaca, dan kemudian menforward-nya, karena isi foto itu tampak atau terasa agak mustahil terjadi di negeri kita ini.
Yang saya tahu, di negeri ini, di perpustakaan pun, di mana pengawasan dan pengamanan cukup ketat, buku tak luput dari aksi pencurian. Perpustakaan yang saya maksud bukan perpustakaan di sembarang tempat, tapi di kampus-kampus. Dan kampus-kampus yang saya maksud bukan sembarang kampus, tapi kampus-kampus Islam. Kalau gak percaya, Anda bisa mengamati perpustakaan yang Anda kunjungi. Di pintu keluar perpustakaan-perpustakaan tersebut, dipasang detektor yang bertugas "meneriaki" para penyelundup buku. Detektor itu sendiri adalah konfirmasi bahwa aksi pencurian buku di perpustakaan itu memang ada.
Apa yang yang membuat kejahatan intelektual ini bisa terjadi? Ada seribu satu jawaban yang bisa menjelaskannya. Tapi, saya ingin melihatnya dari sisi identifikasi diri.
Secara sederhana, identifikasi diri adalah mengenali "siapa kita” dan kemudian melakukan segala hal untuk menegaskan "siapa kita” tersebut. Ketika kita mengidentifikasi diri sebagai seorang guru, misalnya, kita pasti tahu apa yang harus, tidak harus, dan harus tidak kita lakukan sebagai seorang guru.
Dalam konteks identifikasi diri, masalah yang muncul dalam hidup kita ini, kalau disederhanakan, sebenarnya hanya disebabkan oleh dua hal: salah dalam mengidentifikasi diri, atau benar dalam mengidentifikasi diri tapi melanggarnya.
Seorang pemimpin misalnya, dia akan bermasalah kalau mengidentifikasi dirinya sebagai "yang dilayani" dan bukan "yang melayani". Atau kalau dia mengidentifikasi dirinya sebagai "yang melayani" tapi justru bertindak sebagai "yang dilayani".
Kata-kata dalam foto tersebut adalah contoh identifkasi diri. Pembaca adalah mereka yang menghormati buku dan sudah pasti terdidik dan berbudaya. Mencuri buku tentu tidak sejalan dengan atribut mereka ini. Sebagaimana juga membaca buku tidak akan menjadi pilihan para pencuri. Mereka setidaknya akan mencuri yang mudah dijual, atau bisa digunakan ketika tidak dijual, dan itu bukan buku.
Pencurian buku di perpustakaan juga adalah salah satu bentuk identifikasi diri. Tapi identifikasi yang salah. Pelakunya jelas tidak lagi mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang mahasiswa. Atau kalaupun dia masih menyadari dirinya mahasiswa berarti dia telah menegasikan sendiri atribut dirinya tersebut.
Jadi, betapa pentingnya masalah identifikasi diri dalam hidup kita. Inkonsistensi, apalagi inakurasi, dalam mengidentifikasi diri akan menghadirkan masalah dalam diri kita. Kita akan terjebak dalam berbagai bentuk kontradiksi antara siapa kita dan apa yang kita lakukan. Kita adalah hamba Allah, tapi hidup kita mungkin tidak mencerminkan keberhambaan kita kepada-Nya. Kita adalah pendidik, tapi akhlak hidup kita mungkin tidak mencerminkan keteladanan seorang pendidik.
Lalu, apa kaitan antara identifikasi diri dengan hari Arafah?
Momentum Arafah yang kita jalani setiap tanggal 9 Dzulhijjah itu sesungguhnya juga menyiratkan pesan tentang indentifikasi diri atau mengenal kembali diri kita sebagai seorang hamba. Kata "Arafah atau Arafaat" itu sendiri, oleh sebagian Ulama, mengandung arti perkenalan. Juga berarti memahami dan mengenal bagaimana ritual beribadah kepada Allah. Juga bermakna pengakuan dan permintaan ampun atas dosa dan kesalahan di masa lalu.
Hari spesial yang oleh jamaah haji ditandai dengan ritual wuquf di padang Arafah dan oleh selain mereka dengan puasa Arafah itu adalah momentum tahunan yang sangat berharga bagi setiap hamba untuk kembali mengintrospeksi dirinya sebagai hamba yang menyembah dihadapan Allah yang disembah. Sudahkah ia memenuhi kewajibannya sebagai hamba? Sudahkah ia memenuhi hak-hak Allah sebagai Tuhannya? Sudahkah ia menghadirkan Allah dalam keseluruhan gerak hidupnya? Sudahkah ia melakukan apa yang menegaskan keberhambaannya kepada Allah? Sudahkah ia menjauhi apa yang menegasikan kebertuhanannya kepada-Nya?
Renungan Arafah pada gilirannya akan melahirkan kembali seorang hamba dengan komitmen spiritual yang baru. Pasca Arafah, dia berkomitmen akan menjalani kehidupan edisi revisi. Edisi kehidupan yang selalu ia arahkan di jalan yang diridhai-Nya, tidak di jalan yang tidak diperkenankan-Nya. Edisi kehidupan yang tidak menyisakan satu space kecil pun yang tidak diisi oleh kahadiran Allah SWT. Wallahu A'lam
link Artikel ini di media lain..