OPTIMISLAH, JANGAN PERNAH PESIMIS!
Nasaruddin
Lampu menyalah merah. Saya behenti di belakang tiga mobil. Seorang lelaki muncul dari bawah rindang pohon di pinggir jalan. Dengan gitar tuanya, ia melawan terik siang itu dan menghampiri satu persatu tiga mobil tersebut dan bernyanyi di samping pengemudinya.
Pengendara mobil pertama tidak merespon. Pengendara mobil kedua juga tidak menurunkan kacanya. Pengendara mobil ketiga juga sama, tidak mengulurkan apa pun. Saya mengamati dengan perasaan iba, lalu menyiapkan uang dan berharap dia segara menghampiri mobil saya. Jari telunjuk saya letakkan di tombol jendela, siap menurunkan kaca dan mengulurkan uang tanpa menunggu ia bernyanyi.
Sayang, ia tidak menghampiri mobil saya, padahal ia hanya butuh beberapa langkah untuk itu. Ia justru berbalik, memotong ruas jalan sebelah, dan bergegas kembali ke bawah rindang pohon dari mana tadi ia muncul, padahal saat itu lampu masih menyala merah. Saya pun menaruh kembali uang yang tadi saya siapkan. Ada terbersit perasaan kecewa.
Saya kecewa karena andai dia menghampiri saya, ia tidak hanya menyempurnakan ikhtiarnya, tapi juga memberikan kesempatan kepada saya seperti kepada tiga pengendara di depan. Tapi ia tidak melakukannya. Ia tidak mendapatkan sesuatu, dan saya urung melakukan sesuatu. Itulah yang membuat saya kecewa.
Saya terus mengingat apa yang saya saksikan siang itu sebagai pelajaran berharga tentang optimisme dan pesimisme. Saya tentu tidak tahu kenapa laki-laki itu tidak menghampiri saya. Mungkin saja dia punya semacam rumus atau teori dalam mengamen: kalau tiga mobil pertama tidak membuka kacanya, mobil-mobil selanjutnya juga akan seperti itu. Atau bisa juga dia memakai rumus: kalau mobil mewah saja tida memberi receh, apalagi mobil tidak mewah.
Tapi, dari mana dia bisa menyimpulkan seperti itu? Dan bagaimana pula ia bisa begitu meyakininya?
Bagi saya, apapun yang dipikirkan laki-laki itu, apa yang dilakukannya siang itu tampak sebagai sebuah bentuk pesimisme. Semacam mental-blocking yang cenderung membuat orang berpikir negatif dan menghalangi diri sendiri untuk berusaha atau berikhtiar secara maksimal. Pikiran seperti ini hampir ada dalam benak setiap orang, dan acap kali menjadi penghalang utama keberhasilan.
Seorang lelaki akan selamanya 'menjomblo' kalau setiap kali menaksir perempuan ia punya pikiran cintanya akan ditolak. Seorang calon penulis akan tetap calon penulis kalau setiap akan menulis ia punya pikiran tulisannya jelek dan tidak membuat siapa pun tertarik untuk membacanya. Seorang petani tidak akan pernah menanam kalau punya pikiran 'tandurannya' tidak akan berhasil panen. Begitulah, pesimisme akan menghalangi dan memukul mundur siapa pun yang hendak berusaha.
Pesimisme adalah cara berpikir negatif, bahkan bisa disebut proses berpikir yang 'salah kamar'. Kenapa? Karena hasil dari tiap usaha dan ikhtiar sesungguhnya bukanlah domain manusia. Bagian manusia hanyalah berusaha dan berikhtiar, hasilnya Allah yang menentukan. Ketika manusia sudah berpikir tentang hasil dan bahkan meyakininya, berarti ia sudah memasuki yang bukan wilayahnya.
Sebaliknya, optimisme adalah sikap mental positif yang akan membawa kepada kebaikan serta mengatasi semua logika dan pikiran pesimistik. Tak terhitung cerita inspiratif tentang kehidupan yang menyiratkan pesan bahwa berpikir dan bersikap optimis adalah energi positif maha dahsyat yang mampu menuntun orang kepada pencapaian-pencapaian besar.
Sejarah mengabadikan beberapa contoh tentang itu. Nabi Yakub mislanya, karena berpikir optimis, ia terus mendorong anak-anaknya untuk mencari saudara mereka Yusuf, padahal ia sudah puluhan tahun menghilang. Contoh lain adalah Bunda Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim. Karena berpikir optimis, ia terus berlari bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa untuk mencari air, padahal ia dan putranya berada di lembah tandus dan gersang. Contoh yang sama juga ada dalam diri Nabi Zakaria yang karena berpikir optimis terus berdoa minta diberikan keturunan, padahal usianya sudah sepuh dan istrinya mandul.
Andai berpikir pesimis, Nabi Yakub akan meyakini putranya Yusuf sudah meninggal, dan tidak akan berusaha mencarinya. Andai berpikir pesimis, Bunda Hajar akan meyakini tidak mungkin menemukan air di bumi yang tandus itu, lalu tidak akan berlari bolak-balik antara bukit Safa dan Marwa, dan akhirnya tentu tidak menemukan Zam-Zam. Dan andai juga berpikir pesimis, Nabi Zakaria akan berpikir bahwa karena usia tuanya dan kemandulan istrinya ia tidak akan mungkin memiliki anak, dan karenanya tidak akan terus berdoa agar diberi keturunan.
Keagungan optimisme adalah karena dengannya seorang hamba terjaga imannya, bahwa Allah Maha segalanya. Sementara keburukan pesimisme adalah karena dengannya seorang hamba lupa bahwa Allah Maha Segalanya. Oleh karena itu, Nabi Ibrahim menegaskan bahwa hanya orang-orang sesat yang punya sikap mental pesimistik dan putus asa (Al-Hijr: 56). Nabi Yakub juga demikian, Ia mengingatkan anak-anaknya bahwa sikap pesimis dan putus asa adalah sikap mental orang-orang kafir (Yusuf: 87).
Semoga laki-laki pengamen tadi menepi dan tidak menghampiri saya bukan karena ia pesimis atau putus asa. Amin.
Wallahu A'lam.
Link Artikel ini di media lain ...